Cari Blog Ini

Jumat, 28 Mei 2010

potongan makalah..

A. AL-IJARAH (SEWA-MENYEWA)

1. Pengertian

Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah,sewa, jasa, atau imbalan. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.

Secara terminologi, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh.

Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.[1]

Kedua, ulama Syafi’iyah mendefinisikannya dengan: Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.[2]

Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[3]

Berdasarkan definisi di atas, maka akad al-ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri materi, sedangkan akad al-ijarah itu hanya ditujukan kepada manfaat.

Pihak pemilik yang menyewakan manfaat sesuatu disebut mu’ajjir. Adapun pihak yang menyewa disebut musta’jir dan, sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat tersebut disebut ajrah atau ujrah (upah).[4]

Jumhur ulama fiqh juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan, seperti unta, sapi, kuda, dan kerbau, karena yang dimakusdkna dengan hal itua adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani sendiri merupakan materi. Hal ini sejalan dengan sabda Rasul SAW:

Rasulullah saw. Melarang penyewaan mani hewan pejantan. (HR. al-Bukhari, Ahmad ibn Hanbal, an-Nasa’I, dan abu daud dari Abdullah ibn Umar).

2. Dasar Hukum al-ijarah

Al-ijarah disahkan syariat berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’.

Dalil Al-Quran:

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain berapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Asy-Syuura{43}:32)

Dan jika ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah: 233)

Dalil Sunnah,

Riwayat Ibnu Maajah, Rasulullah bersabda,

“Berikanlah upah buruh (orang sewaan) sebelum keringatnya kering.”

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa Nabi saw. Bersabda,

“Berbekamlah kalian, dan berikanlah upah bekamny kepada tukang bekam tersebut”

Tentang disyariatkannya sewa, semua kalangan mengamininya.

3. Rukun al-ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul persetujuan terhadap sewa menyewa. Akan tetapi, jumhur ulama mengataka bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu:

a). Orang yang berakad

b). Sewa/imbalan

c). Manfaat, dan sighat (ijab dan qabul)

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad,sewa/imbalan dan manfaat, termasuk syarat0syarat al-ijarah, bukan rukunnya.[5]

4. Syarat-syarat Al-Ijarah:

1.Untuk kedua orang yang berakad (al-muta’aqidun), menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah disyaratkan telah abalig dan berakal. Akan tetapi meurut Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia balig, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah

2.Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad Al-ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat An-Nisa 29,

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta kamu dengan cara batil, kecuali melalui suatu perniagaan yang berlaku suka sama suka”…..

3.Barang yang menjadi obyek akad dapat diserahterimakan pada saat akad, baik secara fisik atau definitif.

4.Manfaat barang tersebut status hukumnya mubah, bukan termasuk barang yang diharamkan. Seperti halnya haramnya menyewa pembunuh bayaran. Dalam kaidah fiqh disebutkan[6]

Sewa menyewa dalam kemaksiatan tidak boleh.

5. Macam-macam al-ijarah

Dilihat dari segi obyeknya, akad al-ijarah dibagi para ulama menjadi dua macam, yaitu: yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan (jasa).

Al-ijarah yang bersifat manfaat contohnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian dan perhiasan.

Al-ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini contohnya buruh pabrik, tukang jahit, tukang sepatu, dan buruh bangunan.

Kedua-duanya hukumnya boleh.

6. Berakhirnya akad al-ijarah

Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila[7]:

1. Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang.

2. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila yang disewa jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya.

3. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seseorang yang berakad, karena akad al-ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarahi tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad.

4. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang banyak, maka akad al-ijarah batal. Contohnya salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seseorang digaji untuk membuat sumur, dan sebelum sumur selesai pendusuk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi menurut jumhur ulama, uzur yang dibolehkan membatalkan akad al-ijarah itu apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.

7. Hikmah disyariatkannya sewa

Syariat mengesahkan praktek sewa karena kehidupan social memang membutuhkannya. Masyarakat membutuhkan rumah untuk tempat tinggal dan satu sama lain saling membutuhkan. Publik membutuhkan binatang sebagai kendaraan dan angkutan serta tanah untuk bercocok tanam[8].

B. AL-HIWALAH (PENGALIHAN UTANG)

1. Pengertian

Secara etimologis, al-hiwalah berarti pengalihan, pemindahan, perubahan warna kulit, memikul sesuatu di atas pundak.

Sedangkan secara terminology, al-hiwalah didefinisikan[9]:

“perpindahan kewajiban membayar utang dari orang yang berutang (al-muhil) kepada orang yang berutang lainnya (al-muhal’ alaih);

Atau[10]

“pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berutang kepadanya, atas dasar saling mempercayai”

Sedangkan menurut jumhur ulama fiqh mendefinisikannya dengan3

Akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggungjawab seseorang kepada tanggung jawab (orang lain).

Pada dasarnya definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Jumhur ulama fiqh di atas berbeda secara tekstual, tetapi secara substansial mengandung pengertian yang sama, yaitu pemindahan hak menuntut utang kepada pihak lain (ketiga) atas dasar persetujuan dari pihak yang memberi utang.

2. Dasar hukum Hiwalah

Hiwalah seagai salah satu bentuk ikatan atau transaksi antar sesame manusia dibenarkan oleh Rasulullah SAW melalui sabda beliau:

“memperlambat pembayaran utang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih (HR. al-jamaah).

Di samping itu, terdapat kesepakatan ulama (ijma’) yang menyatakan bahwa tindakaaan hiwalah boleh dilakukan.

Mazhab Hanafi membagi hiwalah kepada beberapa bagian. Ditinjau dari obyek akad, hiwalah dibagi menjadi dua. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut utang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak). Sedangkan jika yang dikembalikan itu kewajiban membayar utang, maka pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan utang).

Ditinjau dari sisi lain, hiwalah terbagi dua pula, yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-hiwalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat) dan pemindahan yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-hiwalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak).

Contoh al-hiwalah al-muqayyadah: Syarif berpiutang kepada Besuki sebesar satu juta rupiah, sedangkan Besuki berpiutang kepada rusman juga sebesar satu juta ringgit. Besuki kemudian memindahkan atau mengalihkan haknnya untuk menuntut piutangnya yang terdapat pada Rusman, kepada Syarif, sebagai ganti dari pembayaran utang Besuki kepada Syarif. Dengan demikian, al-hiwalah al-al-muqayyadah, pada satu sisi merupakan hiwalah al-haqq, karena besuki mengalihkan hak menuntut piutangnya dari Rusman kepada Syarif. Sedangkan pada sisi lain, sekaligus merupakn al-hiwalah ad-dain, karena Besuki mengalihkan kewajibannya membayar utang kepada Rusman menjadi kewajiban Rusman kepada Syarif.

Sedangkan contoh al-hiwalah al-muthlaqah: Ahmad berutang kepada Burhan sebesar satu juta ringgit. Karena berutang kepada Ahmad sebesar satu juta ringgit. Ahmad mengalihkan utangnya kepada Karna sehingga karna berkewajiban membayar utang Ahmad kepada Burhan, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang itu sebagai ganti dari pembayaran utang Karna kepada Ahmad. Dengan demikian al-hiwalah al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah ad-dain, karena yang dipindahkan hanya utang ahmad kepada Burhan menjadi utang Karna terhadap Burhan.

Di dalam kitab-kitab fiqh, pihak pertama yang memindahkan hak menuntut pembayaran utang (dalam contoh pertama: Besuki), ataupun yang memindahkan utang (dalam contoh: Ahmad) disebut al-muhil. Pihak kedua yang menerima pemindahan hak menuntut pembayaran utang (dalam contoh pertama Syarif) ataupun yang menerima pemindahan kewajiban membayar utang (dalam contoh :Burhan), disebut al-muhal. Pihak ketiga yang berkewajiban membayar utang(dalam contoh pertama: Rusman dan kedua : Karna), disebut al-muhal ‘alaih, sedangkan utang itu sendiri disebut dengan al-muhal bih.[11]

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kedua macam hiwalah di atas, yaitu : al-hiwalah al-muqayyadah maupun alhiwalah al-muthlaqat, boleh dilaksanakan, dengan syarat, pihak ketiga menerima pemindahan utang pada al-hiwalah al-muthlaqah. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada pengertian umum hadtis Nabi SAW:

Barangsiapa yang dialihkan kepda orang yang kaya, maka hendaklah diturutinya (HR. Ahmad ibn Hanbal)

Sedangkan ulama Malaikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang boleh dilakukan hanya al-hiwalah al-muqayyadah, karena di dalam al-hiwalah al-muthlaqah kemungkinan terjadinya ghara (penipuan) sangat besar[12].

3. Rukun Hiwalah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun hiwalah adalah ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga. Sedangkan menurut jumhur ulamaaaaaaa, yang terdiri dari atas ulama Malaikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, rukun hiwalah ada enam yaitu: (a)pihak pertama, (b)pihak kedua, (c)pihak ketiga, (d)utang pihak pertama kepada pihak kedua(e) utang pihak ketiga pada pihak pertama (f) sighat (pernyataan hiwalah).[13]

4. Syarat-syarat Hiwalah

Syarat yang diperlukan pihak pertama ialah[14]:

cakap melakukan tindakan hokum dalam bentuk akad, yaitu: balig dan berakal. Hiwalah tidak syah jika dilakukan oleh anak-anak, meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang gila.

Ada pernyataan persetujuan (ridha), jika pihak pertam dipaksa melakukan hiwalah maka akad itu tidak syah.

Syarat yang diperlukan pihak kedua ialah:

Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu balig dan berakal, sebagaimana pihak pertama.

Mazhab Hanafi, seagian besar mazhab Maliki, dan mazhab Syafi’I mensyaratkan ada persetujuan pihak kedua dari pihak pertama yang melakukan hiwalah.

Syarat bagi pihak ketiga ialah:

a. Cakap melakukan tindakan hokum dalam bentuk akad, sebagaimana syarat pada kedua pihak sebelumnya.

b. Ulama Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga. Sedingkan ketiga mazhab lainnya tidak mensyaratkan hal itu. Alas an Hanafi ialah, tindakan hiwalah merupakan hokum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga untuk membayar kepada pihak kedua sedangkan kewajiban kewajiban membayar utag baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Adapun alasan para ulama Maliki, Syafi’I dan Hanbali ialah bahwa dalam akad hiwalah, pihak ketiga dipandang sebagai obyek akad, dank arena itu persetujuannya tidak merupakan syarat syahnya hiwalah.

c. Imam Abu Hanifah dan Muhammad al-Hasan asy-Syaibani menambahkan bahwa qabul (pepernyataan menerima akad) harus dilakukan denga sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis akad.

Adapun syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih), ialah:

a. Yang di alihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang sudah pasti. Jika yang di alihkan itu belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar (tenggang waktu yang dimiliki pihak penjual dan pembeli untuk mempertimbangkan apakah akad jual beli dilanjutkan atau dibatalkan), maka hiwalah tidak sah.

ulama sepakat bahwa persyaratan ini berlaku pada utang pihak pertama kepada pihak kedua. Mengenai utang pihak ketiga, ulama Maliki, Syafiif dan Hanbali juga memberlakukan persyaratan ini, tetapi ulama dari Hanafi tidak memberlakukannya.

b. Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk al-hiwalah al-muqayyadah, semua ulama fiqh sepakat baik utang pihak pertama kepada pihak kedua, maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama, mestilah sama jumlah dan kualitasnya. contoh perbedaan jumlah (utang dalam bentuk uang), perbedaan kualitas (utang dalam bentuk barang) maka hiwalah tidak sah.

5. Berakhirnya akad hiwalah

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila:

a. Salah satu pihak yang sedang melkukan akad itu mem-faskh (membatalkan) akad hiwalah itu sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikian pula hak pihak pertama kepada pihak ketiga.

b. Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.

c. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.

d.Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.

e. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu.

f.Hak pihak kedua menurut Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena at-tawa, yaitu: pihak ketiga mengalami muflis(bangkrut), atau wafat dalam keadaan muflis atau, dalam keadaan tidak ada bukti otentik tentang akad hiwalah, pihak ketiga mengingkari akad ini. Dan menurut ulama Maliki, Syafi'i dan Hanbali hiwalah tidak dapat berakhir dengan at-tawa, karena persyaratan sudah terpenuhi.

berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

Umat islam terikat dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.(HR at-Tirmizi dan al-Hakim dari Abdillah ibn Mas'ud).

6. Hikmah hiwalah

Akad ini merupakan salah satu bentuk transaksianatr sesama manusia dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW sebagai salah satu sarana untuk mempermudah pembayaran utang-piutang berdasarkan pada hadits Nabi:

Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih (HR al-Jamaah)

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya ijarah adalah satu jenis akad untuk mengambil manfaat baik barang atau jasa dengan kompensasi. Sebagaimana kita ketahui hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya saling membantu dalam segala hal, baik dalam hal menyewa manfaat barang atau menggunakan jasa orang lain dengan imbalan yang sesuai.

Sedangkan hiwalah pemindahan hak menuntut utang kepada pihak lain (ketiga) atas dasar persetujuan dari pihak yang memberi utang. Dengan tujuan memudahkan dalam pembayan utang piutang.

Saran

Saya sangat mengharapkan kritik dan saran terutama dari doesn pembimbing dan rekan-rekan semua, agar lebih sempurnanya makalah ini, atas saran dan kritiknya saya ucapkan terima kasih.

Referensi

Nor hasanuddin, fiqh sunnah sayyid sabiq (Jakarta: Pena pundi aksara, 2006)

Nasrun Haroen, Fiqh muamalah, (Jakarta: Gaya media pratama, 2000)



[1] Al-kasani,al-bada’I’u ash-shanai’u, (Beirut: dar al fikr), jilid IV, hal.174

[2] Asy-syarbaini al-khatib, mughni al-muhtaj, (Beirut: dar al-fikr, 1978), jilidII, hal 223

[3] Syihab ad-din al-qarafi, al-furuq (Beirut:dar al-fikr, 1982) jilidIV, hal 4. Ibnu Qudamah, al-mugni, (Riyadh al-haditsah) jilid V, hal 398

[4] Nor hasanuddin, fiqh sunnah sayyid sabiq (Jakarta: Pena pundi aksara, 2006) jilid IV hal 203

[5] Asy-Syarbani al-khatib, mugni almuhtaj, (Beirut: dar al-fikr, 1978), jilid II, hal. 233

[6] Nor hasanuddin, fiqh sunnah sayyid sabiq (Jakarta: Pena pundi aksara, 2006) jilid IV hal 203

[7] Al-kasani,al-bada’I’u ash-shanai’u, (Beirut: dar al fikr), jilid IV, hal.208

[8] Nor hasanuddin, fiqh sunnah sayyid sabiq (Jakarta: Pena pundi aksara, 2006) jilid IV hal 205

[9] Ibnu Abidin, Radd al-muhtar ‘ala ad-durr al –muhtar, jilid V, hal. 300

[10] Al-kamal ibn Al-Hummam, Fath al-Qadir syarh al-Hidayah, jilid V, hal442

[11] Ibnu Abidin, Radd al-muhtar ‘ala ad-durr al –muhtar, jilid V, hal. 404

[12] Ibnu Qudamah, Al-Mugni, jilid V, hal.528.

[13] Nasrun Haroen, Fiqh muamalah, (Jakarta: Gaya media pratama, 2000) hal.224

[14] Al-kasani,al-bada’I’u ash-shanai’u, (Beirut: dar al fikr), jilid VI, hal.16; Ibnu Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-muqthasid, hal 295