Cari Blog Ini

Jumat, 28 Mei 2010

potongan makalah..

A. AL-IJARAH (SEWA-MENYEWA)

1. Pengertian

Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah,sewa, jasa, atau imbalan. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.

Secara terminologi, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh.

Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.[1]

Kedua, ulama Syafi’iyah mendefinisikannya dengan: Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.[2]

Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[3]

Berdasarkan definisi di atas, maka akad al-ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri materi, sedangkan akad al-ijarah itu hanya ditujukan kepada manfaat.

Pihak pemilik yang menyewakan manfaat sesuatu disebut mu’ajjir. Adapun pihak yang menyewa disebut musta’jir dan, sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat tersebut disebut ajrah atau ujrah (upah).[4]

Jumhur ulama fiqh juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan, seperti unta, sapi, kuda, dan kerbau, karena yang dimakusdkna dengan hal itua adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani sendiri merupakan materi. Hal ini sejalan dengan sabda Rasul SAW:

Rasulullah saw. Melarang penyewaan mani hewan pejantan. (HR. al-Bukhari, Ahmad ibn Hanbal, an-Nasa’I, dan abu daud dari Abdullah ibn Umar).

2. Dasar Hukum al-ijarah

Al-ijarah disahkan syariat berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’.

Dalil Al-Quran:

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain berapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Asy-Syuura{43}:32)

Dan jika ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah: 233)

Dalil Sunnah,

Riwayat Ibnu Maajah, Rasulullah bersabda,

“Berikanlah upah buruh (orang sewaan) sebelum keringatnya kering.”

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa Nabi saw. Bersabda,

“Berbekamlah kalian, dan berikanlah upah bekamny kepada tukang bekam tersebut”

Tentang disyariatkannya sewa, semua kalangan mengamininya.

3. Rukun al-ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul persetujuan terhadap sewa menyewa. Akan tetapi, jumhur ulama mengataka bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu:

a). Orang yang berakad

b). Sewa/imbalan

c). Manfaat, dan sighat (ijab dan qabul)

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad,sewa/imbalan dan manfaat, termasuk syarat0syarat al-ijarah, bukan rukunnya.[5]

4. Syarat-syarat Al-Ijarah:

1.Untuk kedua orang yang berakad (al-muta’aqidun), menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah disyaratkan telah abalig dan berakal. Akan tetapi meurut Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia balig, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah

2.Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad Al-ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat An-Nisa 29,

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta kamu dengan cara batil, kecuali melalui suatu perniagaan yang berlaku suka sama suka”…..

3.Barang yang menjadi obyek akad dapat diserahterimakan pada saat akad, baik secara fisik atau definitif.

4.Manfaat barang tersebut status hukumnya mubah, bukan termasuk barang yang diharamkan. Seperti halnya haramnya menyewa pembunuh bayaran. Dalam kaidah fiqh disebutkan[6]

Sewa menyewa dalam kemaksiatan tidak boleh.

5. Macam-macam al-ijarah

Dilihat dari segi obyeknya, akad al-ijarah dibagi para ulama menjadi dua macam, yaitu: yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan (jasa).

Al-ijarah yang bersifat manfaat contohnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian dan perhiasan.

Al-ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini contohnya buruh pabrik, tukang jahit, tukang sepatu, dan buruh bangunan.

Kedua-duanya hukumnya boleh.

6. Berakhirnya akad al-ijarah

Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila[7]:

1. Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang.

2. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila yang disewa jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya.

3. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seseorang yang berakad, karena akad al-ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarahi tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad.

4. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang banyak, maka akad al-ijarah batal. Contohnya salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seseorang digaji untuk membuat sumur, dan sebelum sumur selesai pendusuk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi menurut jumhur ulama, uzur yang dibolehkan membatalkan akad al-ijarah itu apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.

7. Hikmah disyariatkannya sewa

Syariat mengesahkan praktek sewa karena kehidupan social memang membutuhkannya. Masyarakat membutuhkan rumah untuk tempat tinggal dan satu sama lain saling membutuhkan. Publik membutuhkan binatang sebagai kendaraan dan angkutan serta tanah untuk bercocok tanam[8].

B. AL-HIWALAH (PENGALIHAN UTANG)

1. Pengertian

Secara etimologis, al-hiwalah berarti pengalihan, pemindahan, perubahan warna kulit, memikul sesuatu di atas pundak.

Sedangkan secara terminology, al-hiwalah didefinisikan[9]:

“perpindahan kewajiban membayar utang dari orang yang berutang (al-muhil) kepada orang yang berutang lainnya (al-muhal’ alaih);

Atau[10]

“pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berutang kepadanya, atas dasar saling mempercayai”

Sedangkan menurut jumhur ulama fiqh mendefinisikannya dengan3

Akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggungjawab seseorang kepada tanggung jawab (orang lain).

Pada dasarnya definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Jumhur ulama fiqh di atas berbeda secara tekstual, tetapi secara substansial mengandung pengertian yang sama, yaitu pemindahan hak menuntut utang kepada pihak lain (ketiga) atas dasar persetujuan dari pihak yang memberi utang.

2. Dasar hukum Hiwalah

Hiwalah seagai salah satu bentuk ikatan atau transaksi antar sesame manusia dibenarkan oleh Rasulullah SAW melalui sabda beliau:

“memperlambat pembayaran utang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih (HR. al-jamaah).

Di samping itu, terdapat kesepakatan ulama (ijma’) yang menyatakan bahwa tindakaaan hiwalah boleh dilakukan.

Mazhab Hanafi membagi hiwalah kepada beberapa bagian. Ditinjau dari obyek akad, hiwalah dibagi menjadi dua. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut utang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak). Sedangkan jika yang dikembalikan itu kewajiban membayar utang, maka pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan utang).

Ditinjau dari sisi lain, hiwalah terbagi dua pula, yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-hiwalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat) dan pemindahan yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-hiwalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak).

Contoh al-hiwalah al-muqayyadah: Syarif berpiutang kepada Besuki sebesar satu juta rupiah, sedangkan Besuki berpiutang kepada rusman juga sebesar satu juta ringgit. Besuki kemudian memindahkan atau mengalihkan haknnya untuk menuntut piutangnya yang terdapat pada Rusman, kepada Syarif, sebagai ganti dari pembayaran utang Besuki kepada Syarif. Dengan demikian, al-hiwalah al-al-muqayyadah, pada satu sisi merupakan hiwalah al-haqq, karena besuki mengalihkan hak menuntut piutangnya dari Rusman kepada Syarif. Sedangkan pada sisi lain, sekaligus merupakn al-hiwalah ad-dain, karena Besuki mengalihkan kewajibannya membayar utang kepada Rusman menjadi kewajiban Rusman kepada Syarif.

Sedangkan contoh al-hiwalah al-muthlaqah: Ahmad berutang kepada Burhan sebesar satu juta ringgit. Karena berutang kepada Ahmad sebesar satu juta ringgit. Ahmad mengalihkan utangnya kepada Karna sehingga karna berkewajiban membayar utang Ahmad kepada Burhan, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang itu sebagai ganti dari pembayaran utang Karna kepada Ahmad. Dengan demikian al-hiwalah al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah ad-dain, karena yang dipindahkan hanya utang ahmad kepada Burhan menjadi utang Karna terhadap Burhan.

Di dalam kitab-kitab fiqh, pihak pertama yang memindahkan hak menuntut pembayaran utang (dalam contoh pertama: Besuki), ataupun yang memindahkan utang (dalam contoh: Ahmad) disebut al-muhil. Pihak kedua yang menerima pemindahan hak menuntut pembayaran utang (dalam contoh pertama Syarif) ataupun yang menerima pemindahan kewajiban membayar utang (dalam contoh :Burhan), disebut al-muhal. Pihak ketiga yang berkewajiban membayar utang(dalam contoh pertama: Rusman dan kedua : Karna), disebut al-muhal ‘alaih, sedangkan utang itu sendiri disebut dengan al-muhal bih.[11]

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kedua macam hiwalah di atas, yaitu : al-hiwalah al-muqayyadah maupun alhiwalah al-muthlaqat, boleh dilaksanakan, dengan syarat, pihak ketiga menerima pemindahan utang pada al-hiwalah al-muthlaqah. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada pengertian umum hadtis Nabi SAW:

Barangsiapa yang dialihkan kepda orang yang kaya, maka hendaklah diturutinya (HR. Ahmad ibn Hanbal)

Sedangkan ulama Malaikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang boleh dilakukan hanya al-hiwalah al-muqayyadah, karena di dalam al-hiwalah al-muthlaqah kemungkinan terjadinya ghara (penipuan) sangat besar[12].

3. Rukun Hiwalah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun hiwalah adalah ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga. Sedangkan menurut jumhur ulamaaaaaaa, yang terdiri dari atas ulama Malaikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, rukun hiwalah ada enam yaitu: (a)pihak pertama, (b)pihak kedua, (c)pihak ketiga, (d)utang pihak pertama kepada pihak kedua(e) utang pihak ketiga pada pihak pertama (f) sighat (pernyataan hiwalah).[13]

4. Syarat-syarat Hiwalah

Syarat yang diperlukan pihak pertama ialah[14]:

cakap melakukan tindakan hokum dalam bentuk akad, yaitu: balig dan berakal. Hiwalah tidak syah jika dilakukan oleh anak-anak, meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang gila.

Ada pernyataan persetujuan (ridha), jika pihak pertam dipaksa melakukan hiwalah maka akad itu tidak syah.

Syarat yang diperlukan pihak kedua ialah:

Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu balig dan berakal, sebagaimana pihak pertama.

Mazhab Hanafi, seagian besar mazhab Maliki, dan mazhab Syafi’I mensyaratkan ada persetujuan pihak kedua dari pihak pertama yang melakukan hiwalah.

Syarat bagi pihak ketiga ialah:

a. Cakap melakukan tindakan hokum dalam bentuk akad, sebagaimana syarat pada kedua pihak sebelumnya.

b. Ulama Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga. Sedingkan ketiga mazhab lainnya tidak mensyaratkan hal itu. Alas an Hanafi ialah, tindakan hiwalah merupakan hokum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga untuk membayar kepada pihak kedua sedangkan kewajiban kewajiban membayar utag baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Adapun alasan para ulama Maliki, Syafi’I dan Hanbali ialah bahwa dalam akad hiwalah, pihak ketiga dipandang sebagai obyek akad, dank arena itu persetujuannya tidak merupakan syarat syahnya hiwalah.

c. Imam Abu Hanifah dan Muhammad al-Hasan asy-Syaibani menambahkan bahwa qabul (pepernyataan menerima akad) harus dilakukan denga sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis akad.

Adapun syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih), ialah:

a. Yang di alihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang sudah pasti. Jika yang di alihkan itu belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar (tenggang waktu yang dimiliki pihak penjual dan pembeli untuk mempertimbangkan apakah akad jual beli dilanjutkan atau dibatalkan), maka hiwalah tidak sah.

ulama sepakat bahwa persyaratan ini berlaku pada utang pihak pertama kepada pihak kedua. Mengenai utang pihak ketiga, ulama Maliki, Syafiif dan Hanbali juga memberlakukan persyaratan ini, tetapi ulama dari Hanafi tidak memberlakukannya.

b. Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk al-hiwalah al-muqayyadah, semua ulama fiqh sepakat baik utang pihak pertama kepada pihak kedua, maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama, mestilah sama jumlah dan kualitasnya. contoh perbedaan jumlah (utang dalam bentuk uang), perbedaan kualitas (utang dalam bentuk barang) maka hiwalah tidak sah.

5. Berakhirnya akad hiwalah

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila:

a. Salah satu pihak yang sedang melkukan akad itu mem-faskh (membatalkan) akad hiwalah itu sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikian pula hak pihak pertama kepada pihak ketiga.

b. Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.

c. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.

d.Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.

e. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu.

f.Hak pihak kedua menurut Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena at-tawa, yaitu: pihak ketiga mengalami muflis(bangkrut), atau wafat dalam keadaan muflis atau, dalam keadaan tidak ada bukti otentik tentang akad hiwalah, pihak ketiga mengingkari akad ini. Dan menurut ulama Maliki, Syafi'i dan Hanbali hiwalah tidak dapat berakhir dengan at-tawa, karena persyaratan sudah terpenuhi.

berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

Umat islam terikat dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.(HR at-Tirmizi dan al-Hakim dari Abdillah ibn Mas'ud).

6. Hikmah hiwalah

Akad ini merupakan salah satu bentuk transaksianatr sesama manusia dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW sebagai salah satu sarana untuk mempermudah pembayaran utang-piutang berdasarkan pada hadits Nabi:

Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih (HR al-Jamaah)

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya ijarah adalah satu jenis akad untuk mengambil manfaat baik barang atau jasa dengan kompensasi. Sebagaimana kita ketahui hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya saling membantu dalam segala hal, baik dalam hal menyewa manfaat barang atau menggunakan jasa orang lain dengan imbalan yang sesuai.

Sedangkan hiwalah pemindahan hak menuntut utang kepada pihak lain (ketiga) atas dasar persetujuan dari pihak yang memberi utang. Dengan tujuan memudahkan dalam pembayan utang piutang.

Saran

Saya sangat mengharapkan kritik dan saran terutama dari doesn pembimbing dan rekan-rekan semua, agar lebih sempurnanya makalah ini, atas saran dan kritiknya saya ucapkan terima kasih.

Referensi

Nor hasanuddin, fiqh sunnah sayyid sabiq (Jakarta: Pena pundi aksara, 2006)

Nasrun Haroen, Fiqh muamalah, (Jakarta: Gaya media pratama, 2000)



[1] Al-kasani,al-bada’I’u ash-shanai’u, (Beirut: dar al fikr), jilid IV, hal.174

[2] Asy-syarbaini al-khatib, mughni al-muhtaj, (Beirut: dar al-fikr, 1978), jilidII, hal 223

[3] Syihab ad-din al-qarafi, al-furuq (Beirut:dar al-fikr, 1982) jilidIV, hal 4. Ibnu Qudamah, al-mugni, (Riyadh al-haditsah) jilid V, hal 398

[4] Nor hasanuddin, fiqh sunnah sayyid sabiq (Jakarta: Pena pundi aksara, 2006) jilid IV hal 203

[5] Asy-Syarbani al-khatib, mugni almuhtaj, (Beirut: dar al-fikr, 1978), jilid II, hal. 233

[6] Nor hasanuddin, fiqh sunnah sayyid sabiq (Jakarta: Pena pundi aksara, 2006) jilid IV hal 203

[7] Al-kasani,al-bada’I’u ash-shanai’u, (Beirut: dar al fikr), jilid IV, hal.208

[8] Nor hasanuddin, fiqh sunnah sayyid sabiq (Jakarta: Pena pundi aksara, 2006) jilid IV hal 205

[9] Ibnu Abidin, Radd al-muhtar ‘ala ad-durr al –muhtar, jilid V, hal. 300

[10] Al-kamal ibn Al-Hummam, Fath al-Qadir syarh al-Hidayah, jilid V, hal442

[11] Ibnu Abidin, Radd al-muhtar ‘ala ad-durr al –muhtar, jilid V, hal. 404

[12] Ibnu Qudamah, Al-Mugni, jilid V, hal.528.

[13] Nasrun Haroen, Fiqh muamalah, (Jakarta: Gaya media pratama, 2000) hal.224

[14] Al-kasani,al-bada’I’u ash-shanai’u, (Beirut: dar al fikr), jilid VI, hal.16; Ibnu Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-muqthasid, hal 295

Kamis, 25 Februari 2010

Mari bersholawat... ( hadits tentang sholawat )

Artinya: “Barangsiapa bershalawat untukku sekali, niscaya Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.” (HR. Muslim dari Abû Hurairah).

Artinya: “Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang diperintah berjalan di muka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka me-nyampaikan kepadaku (sabda Nabi) akan segala salam yang diucapkan oleh ummatku.” (HR. Ahmad. Al-Nasâ’i dan Al-Darimî).

Artinya: “Barangsiapa bershalawat untukku dipagi hari sepuluh kali dan di petang hari sepuluh kali, mendapatlah ia syafa’atku pada hari qiamat.” (HR. Al-Thabrânî)

Artinya: “Manusia yang paling utama terhadap diriku pada hari qiamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat untukku.” (HR. Al-Turmudzî).

Artinya: “Jibril telah datang kepadaku dan berkata: ‘Tidakkah engkau ridha (merasa puas) wahai Muhammad, bahwasanya tak seorang pun dari umatmu bershalawat untukmu satu kali, kecuali aku akan bershalawat untuknya sebanyak sepuluh kali? Dan tak seorang pun dari umatmu mengucapkan salam kepadamu, kecuali aku akan meng-ucapkan salam kepadanya sebanyak sepuluh kali?! (HR. Al-Nasâ’i dan Ibn Hibban, dari Abû Thalhah).

Sabda Rasulullah Saw. yang Artinya: “Barangsiapa -ketika mendengar azan dan iqamat mengucapkan: “Allâhumma Rabba Hâdzih al-Da’wât al-Tâmmah, wa al-Shalât al-Qâ’imati, shalli ‘alâ muhammadin ‘abdika wa Rasûlika, wa A’tihi al-Washîlata wa al-Fadhîlata, wa al-Darâjata al-Râfi’ata, wa al-Syafâ’ata yawm al-Qiyâmati (Artinya: “Ya Allah, ya Tuhannya seruan yang sempurna ini, serta shalat yang segera didirikan ini, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad, hamba dan rasul-Mu. Dan berilah ia wasilah dan fadilah serta derajat yang amat tinggi dan (izin untuk) bersyafaat pada hari Kiamat)…, maka (bagi siapa yang mengucapkan doa tersebut) niscaya akan beroleh syafaatku kelak.”

Syaikh Ja'far Al-Barzanji (Pengarang Kitab Maulid Al-Barzanji)


Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj.

Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.
Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.

Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini!

Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah.

Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.

Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.

*) Diambil dari berbagai sumber

Al-Imam Al-Jalil Abdurrahman Ad-Diba'i (Pengarang Kitab Maulid Diba'i)

Masih dengan tema Maulid Nabi, kali ini kami sajikan riwayat hidup Pengarang Kitab Maulid Ad-Diba'i.

Satu karya maulid yang masyhur dalam dunia Islam ialah maulid yang dikarang oleh seorang ulama besar dan ahli hadits yaitu Imam Wajihuddin ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Umar ad-Diba`ie asy-Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-Syafi`i.

Beliau dilahirkan pada 4 Muharram tahun 866H dan wafat hari Jumat 12 Rajab tahun 944H. Beliau adalah seorang ulama hadits yang terkenal dan tiada bandingnya pada masa hayatnya. Beliau mengajar kitab Shohih Imam al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai derajat Hafidz dalam ilmu hadits yaitu seorang yang menghafal 100,000 hadits dengan sanadnya. Setiap hari beliau akan mengajar hadits dari masjid ke masjid. Di antara guru-gurunya ialah Imam al-Hafiz as-Sakhawi, Imam Ibnu Ziyad, Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Imam al-Hafiz Tahir bin Husain al-Ahdal dan banyak lagi. Selain daripada itu, beliau juga seorang muarrikh, yakni ahli sejarah, yang terbilang.

Beliau dilahirkan di kota Zabid (Zabid (salah satu kota di Yaman Utara) pada sore hari Kamis 4 Muharram 866 H.) Kota ini sudah dikenal sejak masa hidupnya Nabi Muhammad SAW., tepatnya pada tahun ke 8 Hijriyah. Dimana saat itu datanglah rombongan suku Asy`ariah (diantaranya adalah Abu Musa Al-Asy`ari) yang berasal dari Zabid ke Madinah Al-Munawwaroh untuk memeluk agama Islam dan mempelajari ajaran-ajarannya. Karena begitu senangnya atas kedatangan mereka Nabi Muhammad SAW. berdoa memohon semoga Allah SWT. memberkahi kota Zabid dan Nabi mengulangi doanya sampai tiga kali (HR. Al-Baihaqi). Dan berkat barokah doa Nabi, hingga saat ini, nuansa tradisi keilmuan di Zabid masih bisa dirasakan. Hal ini karena generasi ulama di kota ini sangat gigih menjaga tradisi khazanah keilmuan islam.

Masa Kecil Ibn Diba`

Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya yang bernama Syekh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ulama besar yang tersohor di kota Zabid saat itu, hal itu dikarenakan sewaktu beliau lahir, ayahnya sedang bepergian, setelah beberapa tahun kemudian baru terdengar kabar, bahwa ayahnya meninggal didaratan India. Dengan bimbingan sang kakek dan para ulama kota Zabid ad-Diba'i tumbuh dewasa serta dibekali berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantara ilmu yang dipelajari beliau adalah: ilmu Qiroat dengan mengaji Nadzom (bait) Syatibiyah dan juga mempelajari Ilmu Bahasa (gramatika), Matematika, Faroidl, Fikih.

Pada tahun 885 H. beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Sepulang dari Makkah Ibn Diba` kembali lagi ke Zabid. Beliau mengkaji ilmu Hadis dengan membaca Shohih Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Al-Muwattho` dibawah bimbingan syekh Zainuddin Ahmad bin Ahmad As-Syarjiy. Ditengah-tengah sibuknya belajar hadis, Ibn Diba' menyempatkan diri untuk mengarang kitab Ghoyatul Mathlub yang membahas tentang kiat-kiat bagi umat muslim agar mendapat ampunan dari Allah SWT.

Pelajaran penting dari ad-diba'i

Ibn Diba' mempunyai kebiasaan untuk membaca surat Al-fatihah dan menganjurkan kepada murid-murid dan orang sekitarnya untuk sering membaca surat Al-fatihah. Sehingga setiap orang yang datang menemui beliau harus membaca Fatihah sebelum mereka pulang. Hal ini tidak lain karena beliau pernah mendengar salah seorang gurunya pernah bermimpi bahwa hari kiamat telah datang lalu dia mendengar suara “ wahai orang Yaman masuklah ke surga Allah” lalu orang –orang bertanya “kenapa orang-orang Yaman bisa masuk surga ?” kemudian dijawab, karena mereka sering membaca surat Al-fatihah.

Karya ad-diba'i

Ibn Diba` termasuk ulama yang produktif dalam menulis. Hal ini terbukti beliau mempunyai banyak karangan baik dibidang hadis ataupun sejarah. Karyanya yang paling dikenal adalah syair-syair sanjungan (madah) atas Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sebutan Maulid Diba`i,

Diantara buah karyanya yang lain : Qurrotul `Uyun yang membahas tentang seputar Yaman, kitab Mi`roj, Taisiirul Usul, Bughyatul Mustafid dan beberapa bait syair. Beliau mengabdikan dirinya hinga akhir hayatnya sebagai pengajar dan pengarang kitab. Ibn Diba'I wafat di kota Zabid pada pagi hari Jumat tanggal 26 Rojab 944 H
dan pengarang kitab. Ibn Diba'I wafat di kota Zabid pada pagi hari Jumat tanggal 26 Rojab 944 H

Al-Imam Abu Abdillah Al-Bushiri (Pengarang Maulid Al-Burdah)


Yaa Rabbi bilmusthofa balligh maqoshidana,
Waghfir lana ma madha yaa waasi'al karomi.

Qasidah Burdah adalah salah satu karya paling populer dalam khazanah sastra Islam. Isinya, sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan, hingga kini masih sering dibacakan di sebagian pesantren salaf dan pada peringatan Maulid Nabi. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Melayu, Sindi, Inggris, Prancis, Jerman dan Italia.
Pengarang Kasidah Burdah ialah Al-Bushiri (610-695H/ 1213-1296 M). Nama lengkapnya, Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bushiri. Dia keturunan Berber yang lahir di Dallas, Maroko dan dibesarkan di Bushir, Mesir, Dia seorang murid Sufi besar, Imam as-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abdul Abbas al-Mursi – anggota Tarekat Syadziliyah. Di bidang ilmu fiqih, Al Bushiri menganut mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab fiqih mayoritas di Mesir.
Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al Quran di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusateraan Arab ia pindah ke Kairo. Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra syair ini melebihi para penyair pada zamannya. Karya-karya kaligrafinya juga terkenal indah.
Sebagian ahli sejarah menyatakan, bahwa ia mulanya bekerja sebagai penyalin naskah-naskah. Louis Ma’luf juga menyatakan demikian di dalam Kamus Munjibnya.
Sajak-sajak pujian untuk Nabi dalam kesusasteraan Arab dimasukkan ke dalam genre al-mada’ih an-nabawiyah, sedangkan dalam kesusasteraan-kesusasteraan Persia dan Urdu dikenal sebagai kesusasteraan na’tiyah (kata jamak dari na’t, yang berarti pujian). Sastrawan Mesir terkenal, Zaki Mubarok, telah menulis buku dengan uraian yang panjang lebar mengenai al-mada’ih an-nabawiyah. Menurutnya, syair semacam itu dikembangkan oleh para sufi sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan religius yang Islami.
Kasidah Burdah terdiri atas 160 bait (sajak), ditulis dengan gaya bahasa (usiub) yang menarik, lembut dan elegan, berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW, cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, doa, pujian terhadap Al Quran, Isra’ Mi’raj, jihad dan tawasul.
Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, AI-Bushiri bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada- Nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika kasidah Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-pesantren salaf, dan bahkan diajarkan pada tiap hari Kamis dan Jumat di Universitas AI-Azhar, Kairo.
Al-Bushiri hidup pada suatu masa transisi perpindahan kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke tangan dinasri Mamalik Bahriyah. Pergolakan politik terus berlangsung, akhlak masyarakat merosot, para pejabat pemerintahan mengejar kedudukan dan kemewahan. Maka munculnya kasidah Burdah itu merupakan reaksi terhadap situasi politik, sosial, dan kultural pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan Nabi yang bertungsi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), mengendalikan hawa nafsu, kembali kepada ajaran agama yang murni, Al Quran dan Hadis.

Ada sebab-sebab khusus dikarangnya Kasidah Burdah itu, yaitu ketika al-Bushiri menderita sakit lumpuh, sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka dibuatnya syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon syafa’afnya. Di dalam tidurnya, ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. di mana Nabi mengusap wajah al-Bushiri, kemudian Nabi melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh al-Bushiri, dan saat ia bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya.

ajaran Imam al-Bushiri dalam Burdahnya yang terpenting adalah pujian kepada Nabi Muhammad SAW. la menggambarkan betapa Nabi diutus ke dunia untuk menjadi lampu yang menerangi dua alam : manusia dan Jin, pemimpin dua kaum : Arab dan bukan Arab. Beliau bagaikan permata yang tak ternilai, pribadi yang tertgosok oleh pengalaman kerohanian yang tinggi. Al-Bushiri melukiskan tentang sosok Nabi Muhammad seperti dalam bait 34-59 :

Muhammadun sayyidui kaunain wa tsaqaulai
Ni wal fariqain min urbln wa min ajami
Muhammad adalah raja dua alam manusia dan jin
Pemimpin dua kaum Arab dan bukan Arab.

Pujian al-Bushiri pada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi, tetapi mengungkapkan kelebihan Nabi yang paling utama, yaitu mukjizat paling besar dalam bentuk Al Quran, mukjizat yang abadi. Al Quran adalah kitab yang tidak mengandung keraguan, pun tidak lapuk oleh perubahan zaman, apalagi ditafsirkan dan dipahami secara arif dengan berbekal pengetahuan dan makrifat. Hikmah dan kandungan Al Quran memiliki relevansi yang abadi sepanjang masa dan selalu memiliki konteks yang luas dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat temporal. Kitab Al Quran solamanya hidup dalam ingatan dan jiwa umat Islam.
Selain Kasidah Burdah, al-Bushiri juga menulis beberapa kasidah lain di antaranya a!-Qashidah al-Mudhariyah dan al-Qashldah al-Hamziyah. Sisi lain dari profil al-Bushiri ditandai oleh kehidupannya yang sufistik, tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah, tidak menyukai kemewahan dan kemegahan duniawi.
Di kalangan para sufi, ia termasuk dalam deretan sufi-sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh al-Manufi menulis di dalam bukunya, Jamharat al-Aulia. bahwa al-Bushiri tetap konsisten dalam hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang terletak di Iskandaria, Mesir, sampai sekarang masih dijadikan tempat ziarah. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abu Abbas al-Mursi.